PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI
Diceritakan, ada seorang putri jelita yang bernama Putri Arum atau biasa dipanggil Putri Cadasari. Ia sedang duduk termenung seorang diri di tengah kebun manggis. Tidak jauh dari tempat itu, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya.
Kemudian tiba-tiba saja Sang Putri menangis. Lelaki itu duduk di dekat Sang Putri. Setelah tangisnya reda, Sang Putri bertanya, "Sebenarnya Kisanak, siapa?" tanya Sang Putri.
"Saya pembuat gelang, Pande gelang. Orang-orang cukup menyebut saya, Ki Pande."
"Nama saya Putri Arum..." Sang Putri memulai ceritanya. Menurut Putri Arum, dirinya diancam oleh Pangeran Cunihin untuk menerima lamaran dari pangeran jahat itu.
Mendengar hal itu, Ki Pande memberi saran agar Putri Arum menerima pinangan Pangeran Cunihin. Syaratnya, Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat di pesisir pantai dalam waktu tiga hari.
"Wah, syarat itu terlalu ringan bagi Pangeran Cunihin," tukas Putri Arum. "Kalau batu keramat dilubangi, separuh kemampuan orang tersebut akan sirna," kata Ki Pande.
Mendengar penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujuinya. Sementara itu, Ki Pande membuat gelang yang sangat besar agar bisa dilalui manusia.
Waktu yang ditentukan pun tiba. Putri Cadasari mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin. Tak sampai tiga hari, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir.
Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengikutinya dari kejauhan.
Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Selanjutnya, Pangeran Cunihin menempelkan kedua telapak tangannya ke batu keramat. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.
"Lihat, mudah, kan? Tuan Putri menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang itu, Pangeran Cunihin lantas menuntun Putri Cadasari ke arah batu keramat yang telah berlubang itu. Kemudian, ia berjalan melewati lubang batu keramat itu.
Tapi tiba-tiba, seluruh kekuatan Pangeran Cunihin menghilang. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta, sedangkan Ki Pande berubah menjadi seorang pemuda tampan.
Ternyata Ki Pande adalah Pangeran Pande Gelang. Mereka segera beranjak pergi dari pantai. Diceritakan bahwa akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia sampai akhir hayatnya.
Pesan moral dari Contoh Cerita Legenda Singkat : Pande Gelang dan Putri Cadasari adalah Segala kekuatan dan keperkasaan yang kita miliki adalah anugrah dari Yang Maha Kuasa, hendaklah digunakan di jalan yang benar.
MASJID SUMPAH TERATE UDIK
Syandan di sebuah desa, ada sebuah mushola yang menjadi pusat kehidupan sosial. Selain menjadi tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah dan menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Pengurus mushola ini bernama ustad Wahid.
Pada suatu hari, terjadi perselisihan antara Pak Tio dan Pak Sidik tentang tanah. Ustad Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan diselesaikan di mushola. Masing-masing pihak diminta menyiapkan seorang saksi yang akan disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci al-Qur'an.
"Demi Allah, tanah itu milik Pak Sidik. Saya melihat Ki Ahmad memberikan wasiatnya kepada Pak Sidik!" ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak Sidik.
"Benarkah?" tanya ustad Wahid.
"Semua itu dusta, Ustad. Kami, saksi Pak Tio, membawa surat wasiat Ki Ahmad. Seseorang menemukannya di bawah kasur Ki Ahmad!" jelas Randik sembari menunjukkan surat wasiat tersebut.
Akhirnya, ustad Wahid dan pengurus mesjid memenangkan Pak Tio. Pada malam harinya terdengar berita bahwa Randik jatuh sakit dan beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Pak Tio merasa bersalah, karena ia menyuruh Randik bersumpah palsu di mushola. Selain itu, ia juga mengaku bahwa dirinya pula yang membuat surat wasiat palsu.
"Aneh, rumah Pak Tio tiba-tiba terbakar. Pak Tio tidak dapat diselamatkan. Akhirnya, sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad diwakafkan ke mushola. Semenjak peristiwa itu, tak pernah lagi terdengar perselisihan perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian dikabarkan bahwa seseorang mencuri barang-barang berharga di rumah Fatimah. Ustad Wahid berjanji akan mencari pencurinya.
Keesokan harinya, ustad Wahid diundang Pak Fikar ke rumahnya, Ustad Wahid dan warga disuguhi makanan dan minuman yang lezat. Aneh, Pak Umar, hanya diam saja. Setelah acara selesai, ustad Wahid bertanya kepada Pak Umar,
"Ada masalah apa, Pak Umar, dari tadi diam saja?" tanya ustad Wahid.
"Begini, ustad, saya melihat emas kepunyaan istri saya dipakai oleh istri Pak Fikar. Ia juga mengenakan cincin batu peninggalan bapak saya," jelas Pak Umar.
"Jangan berprasangka buruk dulu, mungkin bentuknya sama!" ustad Wahid mengelak.
Pak Umar dan beberapa temannya mendatangi rumah Pak Fikar. Mereka bercakap-cakap dengan Pak Fikar, sedangkan Pak Umar mengintip dari balik dinding tembikar.
"Pak Fikar, cincin Anda sungguh indah. Dapat dari mana?"
"Cincin ini pemberian kakak saya," jawab Pak Fikar. Setelah mendapatkan keterangan, mereka kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyelesaikan masalah itu, ustad Wahid meminta Pak Fikar bersumpah di mushola.
"Saya bersumpah, demi Allah, tidak pernah mencuri di rumah Pak Umar!" sumpah Pak Fikar. Beberapa hari setelahnya, Pak Fikar sakit. Akhirnya, Pak Fikar pun meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap ada permasalahan, warga.
menyelesaikannya di mushola tersebut. Sejak saat itu, warga desa menganggap bahwa mushola itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan.
Akhirnya, mushola itu diperbesar dan berubah menjadi masjid dengan nama Masjid Terate Udik, sesuai dengan nama kampungnya. Masjid Terate Udik dipercaya dapat memberi bukti tentang perbuatan salah dan benar seseorang. Tetapi, hanya orang-orang tertentu saja yang berani bersumpah di dalamnya.
Pesan moral dari Ringkasan Cerita Rakyat Nusantara dari Banten adalah kebaikan itu akan selalu terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui, walau sekecil apa pun, cepat atau lambat.
ASAL USUL GUNUNG PINANG
Pada zaman dahulu kala, di sebuah pesisir pantai kota Banten. Hiduplah seorang janda dengan anak laki-lakinya. Anak laki-laki itu bernama Dampu Awang. Kehidupan mereka sangat miskin dan serba kekurangan.
Suatu hari, ada sebuah kapal layar berlabuh milik seorang saudagar kaya yang bernama Teuku Abu Matsyah. Melihat kapal saudagar kaya itu, timbul sebuah keinginan untuk bekerja di sana sebagai awak kapal.
“Ibu, di pelabuhan ada kapal seorang saudagar yang sangat kaya sedang berdagang di sini. Aku ingin sekali bekerja di kapalnya. Bu, bolehkah aku ikut berlayar dengannya?” Tanya Dampu Awang.
Namun, ibunya langsung melarang. “Tidak anakku! Kau tidak boleh ikut berlayar bersama sudagar kaya itu.” Jawab sang ibu tegas.
“Mengapa bu?” Kata Dampu Awang.
‘’Tidak Nak! Ibu sangat takut. Jika kau sudah menjadi kaya nanti. Kau pasti akan lupa dengan ibumu yang miskin ini.’’ Kata ibunya sedih.
Namun, Dampu Awang terus saja merengek agar diijinkan untuk pergi berlayar. Akhirnya, dengan berat hati sang ibu pun mengalah. Sang ibu mengizinkan Dampu Awang untuk ikut berlayar. Namun, Sebelum berangkat, sang ibu menitipkan Burung kesayangan milik ayahnya.
‘’ jagalah Burung itu baik-baik Nak, dan jangan lupa untuk memberikan kabar.’’ Kata ibuya.
‘’ Baik bu, aku tidak akan melupakan pesan ibu.’’ Kata Dampu Awang.
Sang ibu pun menangis dan memeluk anaknya dengan sangat erat. Dampu Awang pun langsung naik kapal dan siap untuk berlayar ke malaka.
Selama di kapal, Dampu Awang dikenal sebagai pekerja yang sangat rajin. Ia selalu menjalankan perintah majikannya dengan baik. Saudagar Teuku Abu Matsyah sangat senang melihat semangat Dampu Awang. Jabatannya terus naik dan selalu memuaskan.
Melihat kesungguhan Dampu Awang, Sang Saudagarpunh menjodohkannya dengan putri tercinta, Siti Nurhasanah.
Dampu Awang sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan majikannya tersebut. ia pun sangat senang.
‘Akhirnya, pernikahan pun dilaksanakan dengan sangat meriah. Setelah menjadi menantu saudagar kaya, Dampu Awanglah yang menggatikan posisi ayah mertuanya tersebut.
Suatu hari, Dampu Awang dan istrinya berlayar ke wilayah pantai Banten. Tibalah mereka di daerah tempat tinggal Dampu Awang. Seluruh pernduduk sangat terpukau melihat kemewahan kapal Dampu Awang.
Kabar tentang berlabuhnya kapal layar yang mewah itu terdengar oleh sang ibu Dampu Awang. Ia sangat yakin saudagar kaya itu adalah anak laki-lakinya. Ia pun langsung bergegas datang ke pelabuhan untuk bertemu dengan Dampu Awang.
Setibanya di pelabuhan, ibu Dampu Awang melihat anaknya berdiri di pinggir kapal dan mengenakan pakaian yang sangat mewah. Selain itu, sang ibu pun melihat ada seorang wanita yang sangat cantik berdiri di sampingnya. Sang ibu sangat senang karena anaknya, sekarang sudah memiliki seorang istri. Ia langsung berlari ke arah kapal mendekati anaknya tersebut. Ia berlari dengan cepat dan berteriak memanggil nama anaknya.
‘’ Dampu Awang anakku, kau sudah kembali Nak, ibu sangat merindukanmu.’’ Kata sang ibu menangis bahagia.
Dampu Awang sangat terkejut melihat seorang perempuan tua yang pakaiannya compang-camping dan sangat dekil sekali. Ia sangat mengenal wajah perempuan yang memanggil-manggil namanya tersebut. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah ibunya. Namun, ia sangat malu mengakui perempuan yang seperti pengemis itu ibunya.
‘’ Kang, apakah perempuan tua itu adalah ibumu? Mengapa selama ini kau tidak pernah menceritakan jika masih mempunyai seorang ibu?” Tanya istrinya heran.
‘’ Bukan sayang! Perempuan tua itu bukan ibuku. Ibuku sudah lama meninggal. Ia hanya seorang perempuan yang gila. Sudah abaikan saja perkataannya itu. Sungguh tidak penting!’’ kata Dampu Awang.
Sang ibu terus-menerus memanggil namanya.
‘’ Hei, perempuan tua! Diamlah! Kau bukan ibuku. Aku sudah tidak memiliki ibu. Ibuku sudah lama meninggal!’’ kata Dampu Awang sangat kesal.
Sang ibu sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan anak laki-lakinya itu. Kini ketakutannya menjadi kenyataan. Hatinya bagaikan teriris-iris. Kini, anak kandungnya sendiri tidak mengakuinya sebagai ibunya. Air matanya pun membasahi pipinya. Tanpa sadar ia berdoa.
‘’ Ya Tuhan, apakah aku salah? Jika dia bukan anakku Dampu Awang, biarkanlah dia pergi. Tetapi, jika dia anakku. Tolong berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!’’ doa sang ibu.
Tidak lama kemudian, bumi seketika bergetar. Langit bergemuruh. Petir pun menyambar sangat dasyat. Langitpun berubah menjadi sangat gelap. Tiba-tiba, terjadilah badai. Kapal layar Dampu Awang yang sagat mewah itu terombang-ambing di lautan. Seluruh isinya porak-polanda. Dampu Awang dan istrinya sangat panik dan bingung
Tiba-tiba, Burung peliharaan Dampu Awang berbicara.
‘’ Dampu Awang! Akuilah perempuan itu sebagai ibumu. Cepatlah akui dia!’’ kata sang Burung.
‘’ Tidak, ibuku sudah lama mati.’’ Teriak Dampu Awang.
Seketika, kapal layar Dampu Awang tiba-tiba terangkat ke udara dan terlempar ke sebelah selatan dan seluruh isinya. Kapal itu tertelungkup dan membentuk sebuah gunung. Dampu Awang dan istrinya tidak dapat menyelamatkan diri. Setelah itu lautan kembali seperti semula dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Gunung tersebut di kenal dengan nama Gunung Pinang. Dan hingga kini, gunung tersebut masih ada dan letaknya di antara kota Serang dan Cilegon.
Pesan moral dari cerita rakyat dari Banten adalah hormati dan sayangi orang tuamu selagi dia masih hidup. Durhaka terhadap orang tua hanya akan membuat kita tidak bahagia.
LEGENDA BATU KUWUNG
Dahulu pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Banten. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat.
Harnpir semua tanah pertanian di desa menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah.
Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan
Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.
Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang.
Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.
Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah, Cerita Legenda Batu Kuwung Singkat. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.
Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.
“Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!” hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.
Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
“Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!” ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.
Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.
Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.
Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.
Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.
“Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.
Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.
Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu”.
Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.
Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.
Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.
Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.
Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan mata air panas dari Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.
Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.
Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan mata air panas Batu Cekung tersebut.
Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata mata air panas “Batu Kuwung” (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung Karang
0 komentar:
Posting Komentar